Nincilodla - Akhir pekan ini, tepatnya pada hari Sabtu (3/9), Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya memutuskan untuk meningkatkan harga bahan bakar bersubsidi (BBM). Harga orang memutuskan untuk naik dari Rp7.650 menjadi 10.000 per liter.
"Ini adalah opsi terakhir dari pemerintah, yaitu untuk mengalihkan subsidi bahan bakar. Jadi harga berbagai jenis bahan bakar yang telah disubsidi sejauh ini akan mengalami penyesuaian," kata Jokowi pada konferensi pers oleh Presiden Jokowi dan para menteri dengan Menghormati transfer subsidi bahan bakar yang ditransmisikan oleh akun YouTube dari Sekretariat Presiden.
Jadi, jika Meader meningkat, apa dampaknya pada orang kelas menengah?
Harga bahan bakar mendorong inflasi
Perlu diingat bahwa konsumsi milik Indonesia mencapai 80% dari total bensin. Jadi kenaikan harga pertalitas tentu akan mendorong peningkatan inflasi, yang dapat meningkat.
Badan Statistik Pusat (BPS) awal bulan ini mengumumkan data inflasi Indonesia untuk periode Juli 2022 yang tumbuh 0,64% dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Dalam tahunan (tahunan/antar tahunan), tingkat inflasi mempercepat. Inflasi pada bulan Juli 2022 terdaftar 4,94% (tahun -satu tahun), lebih tinggi dari bulan sebelumnya, yaitu 4,35% pada saat yang sama tertinggi sejak Oktober 2015.
Dalam keranjang inflasi, bensin memiliki berat 4% menurut data Badan Statistik Pusat (BPS). Jadi, misalnya, harga bahan bakar naik 10%, inflasi dapat diambil hingga 0,4 poin persentase untuk inflasi.
Secara historis, seperti pada tahun 2014, misalnya, ketika harga bahan bakar premium adalah yang paling dikonsumsi pada waktu itu, dikumpulkan pada 30%November. Inflasi kemudian menembak hingga 8,36% (tahun -on -tahun).
Hal yang sama terjadi setahun sebelumnya ketika pemerintah menaikkan harga bahan bakar pada Juni 2013, yang memicu peningkatan inflasi menjadi 8,38% (interannual).
Pengangguran dan kemiskinan
Dampak peningkatan bahan bakar tidak hanya pada ekonomi, tetapi juga akan mempengaruhi aspek sosial masyarakat Indonesia.
BBM sangat diperlukan untuk operasi perusahaan, jadi jika harganya semakin mahal, ia akan memuat biaya produksi untuk hampir semua sektor dan jalur komersial.
Akibatnya, perusahaan akan meminimalkan biaya operasi, misalnya, dengan menghentikan perekrutan karyawan baru untuk Pengakhiran Ketenagakerjaan (PHK).
Peningkatan bahan bakar memiliki potensi untuk meningkatkan pengangguran, yang tidak diragukan lagi akan meningkatkan tingkat kemiskinan Indonesia. Bahkan, pada Maret 2022, BPS telah melaporkan penurunan kemiskinan setelah pandemi.
Tingkat kemiskinan untuk Maret mencapai 9,54% atau 26,16 juta orang. Di bawah 0,6 poin atau 1,38 juta orang. Dibandingkan dengan September 2021, penurunan kemiskinan mencapai 0,17 poin atau 0,34 juta orang.
Namun, garis kemiskinan meningkat 3.975% dibandingkan dengan September 2021 menjadi Rp 505.469 pada Maret 2022.
Bukan tidak mungkin, jika tingkat pengangguran dan peningkatan kemiskinan akan menyebabkan kekacauan dalam demonstrasi.
Jika Anda melihat di cermin pada tahun 2013, ratusan siswa dan pekerja membuat demonstrasi untuk menolak peningkatan bahan bakar terhadap Istana Negara, Kementerian Energi dan Energi Mineral (ESDM).
Ini harus belajar. Sebelum pemerintah menaikkan harga bahan bakar, lebih baik memperhatikan beberapa poin, seperti tingkat inflasi dan daya beli orang.
Konsumsi orang Indonesia berkontribusi hingga 50% untuk PDB, sehingga jika inflasi meningkat, itu tidak diragukan lagi akan membatasi konsumsi masyarakat dan berpartisipasi dalam PDB.
This post have 0 komentar
EmoticonEmoticon